9.28.2008

Gerakan Sosial Kultural


K.H. AHMAD DAHLAN, dan
GERAKAN SOSIAL KULTURAL

Tidak banyak naskah tertulis dan dokumen yang dapat dijadikan bahan untuk mengkaji dan merumuskan pemikiran Ahmad Dahlan. Namun pada tulisan ini akan disajikan rangkaian perjalanan sosok Ahmad Dahlan sampai beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah yang merupakan buah pemikiran beliau yang masih bisa kita amati perkembangannya hingga saat ini.

K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya, K.H. Abu Bakar, adalah seorang khatib masjid besar Kesultanan Yogyakarta, yang juga merupakan bagian silsilah keturunan dari Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, puteri dari seorang penghulu Kesultanan Yogyakarta. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, 2005:91)
Sejak menginjak usia sekolah, Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Al-qur’an hingga khatam. Kemudian ia belajar Fiqh kepada K.H. Muhammad shaleh, dan Nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya merupakan kakak ipar Mhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. (Ibid.,: 91). Pengetahuan Kyai dalam ilmu Falaq diperoleh dari gurunya yaitu K.H. Raden Dahlan salah seorang putera Kyai Termas. Selanjutnya ilmu Hadits dipelajarinya dari K.H. Mahfud dan Syech Khayyat.(Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, 1990:6)
Pengetahuan K.H. Ahmad Dahlan yang luas dan mencakup berbagai disiplin, menjadikan beliau tumbuh sebagai seorang yang arif dan tajam pemikirannya serta memiliki pandangan yang jauh ke depan.

Rasa ingin tahu yang cukup besar mendorong Ahmad Dahlan memanfaatkan waktu untuk belajar. Ketika menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau memanfaatkan waktunya setelah menunaikan umrah untuk bersilaturahmi dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Ia juga rajin belajar menambah ilmu antara lain kepada K.H. Mahfud Termas, K.H. Nahrowi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan juga kepada para ulama Arab di Masjidil Haram. Ia juga belajar pada Imam Syafi’I Sayyid Bakri Syata’ dan mendapat sebutan nama Haji Ahmad Dahlan. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:91-92)

Disamping itu, cintanya kepada ilmu juga ditunjukkan oleh peristiwa yang terjadi pada tahun 1892. pada tahun tersebut seseorang memberi uang sebesar 500 gulden dengan maksud untuk modal berniaga. Namun demikian, uang yang semestinya untuk modal kerja itu beliau gunakan untuk membeli buku dan kitab. (Abdul Munir Mulkhan, op.cit,:7)
Ketika ayahnya wafat, tahun 1896 M, K.H. Ahmad Dahlan menjabat sebagai Khatib masjid besar Kesultanan Yogyakarta, yang diberi tugas :
1. Khutbah Jum’at saling berganti dengan kawannya delapan orang khatib.
2. Piket diserambi masjid dengan kawannya enam orang sekali seminggu.
3. menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:92)

Ketika menjabat sebagai Khatib, Ahmad Dahlan berusaha menerangkan arah kiblat shalat sebenarnya. Usaha-usaha untuk menyebarkan informasi tersebut dilakukannya dan mengundang 17 ulama untuk menyepakati persoalan kiblat shalat di surau Khatib Amin K.H.A. Dahlan. Meskipun pada akhirnya tidak memperoleh kesepakatan, namun sudah dianggap mendapat kemajuan positif dalam menjalankan musyawarah yang sopan dan tidak menimbulkan kegaduhan (Ibid.,:92)

Persoalan arah kiblat ini menunjukkan sikap K.H. Ahmad Dahlan dalam memahami ajaran Islam. Beliau mencoba meluruskan cara-cara beribadah menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. Paham K.H. Ahmad Dahlan yang melaksanakan ibadah berdasarkan kesadaran dalam melaksanakan ibadah itu sendiri. Ibadah tidak dibenarkan kalau hanya diperintahkan oleh seseorang tanpa ia berfikir apa yang disampaikan benar atau tidak. Meskipun yang memerintahkan adalah orang tua sendiri maupun guru atau penguasa. Sikap yang ditanamkan beliau merupakan sikap pembaharu serta mencoba untuk terbuka dalam berfikir serta menyelidiki tindakan dan pikiran yang sudah biasa dilakukan sehingga kita tidak akan terjebak dengan tradisi dan rutinitas.

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Q.S. Al Baqarah : 170)

Untuk mencari kebenaran orang tidak boleh merasa benar sendiri. Oleh karena itu orang tersebut harus berani berdialog dan diskusi dengan semua pihak walaupun dengan orang atau golongan yang berbeda pendapat. Musyawarah yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dengan mengundang ulama tersebut merupakan rangkaian dialog yang dilakukan untuk mencari kebenaran tersebut. Proses musyawarah yang berjalan dengan lancar tanpa adanya kegaduhan tersebut juga mencerminkan kedewasaan berfikir dalam menerima pendapat dari orang lain, dan walaupun pada akhirnya tidak tercapai kesepakatan.
Cara mengambil keputusan yang benar harus dilakukan dengan kesediaan mendengarkan segala pendapat, berdiskusi dan membandingkan serta menimbang baru kemudian memutuskan sesuai akal pikiran. Keputusan ini juga harus diikuti dengan etika serta akhlak yang baik berdasarkan hati yang jernih.

Bermusyawarah dalam suatu urusan merupakan perilaku yang dicontohkan Rasulullah dalam mengambil keputusan. Bernusyawarah mengajarkan kita untuk memanfaat potensi serta pemikiran orang lain. (Murthada Muthahhari, Sirah Sang Nabi, 2006:152)

Sikap mempertahankan apa yang dianggap beliau benar mengenai persoalan kiblat ini mengundang kemarahan Penghulu K.H. Muhammad Khalil Kamaludiningrat karena merasa dilecehkan oleh bawahannya. Kemudian datang sepuluh orang kuli dengan berbagai peralatan, terus meruntuhkan surau. K.H. Ahmad Dahlan putus asa, mau pergi meninggalkan Yogyakarta, tetapi untung dapat dihibur oleh kakaknya, Kyai dan Nyai Haji Saleh. Di atas puing surau tersebut segera dibangun lagi surau baru menghadap ke barat lurus, dan diberi bergaris saf mengarah kiblatullah. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:93).

Selama tiga tahun setelah peristiwa tersebut, Khatib Amin tetap menekuni tugasnya serta mengajar murid-muridnya di surau. Lalu keudian beliau berangkat kembali ke Makkah naik haji pada tahun 1903. Ada yang mengatakan bahwa kepergiannya untuk haji yang kedua itu direkayasa oleh Pemerintah Kesultanan. Masalah kiblat masjid besar dan pembongkaran surau itu merupakan manifestasi pertentangan antara faham islam tradisional dan faham pembaharuan dalam islam. Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketegangan sementara waktu Khatib Amin perlu disingkirkan. Kesempatan ini dimanfaatkan K.H. Ahmad Dahlan untuk menggali ilmu kepada para guru selama dua tahun di Makkah. (Ibid,:93)
Sepulang dari Makkah, K.H. Ahmad Dahlan tetap mengajar islam kepada murid-muridnya dan membangun pondok untuk murid-muridnya yang berasal dari luar Yogyakarta dan kota-kota di Jawa Tengah. Materi pengajian yang diberikan antara lain ilmu Falak, tauhid dan tafsir dari Mesir. (Ibid,:94)

Semangat untuk menggali ilmu disetiap kesempatan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan mencerminkan kepribadian yang terbuka dan selalu merasa bahwa persediaan ilmu yang dimilikinya masih kurang. Beliau juga berusaha untuk mentransformasikan ilmu kepada orang lain sehingga pengetahuan terhadap ilmu tersebut semakin terasah.
Pekerjaan K.H. Ahmad Dahlan sebagai Khatib Masjid Besar tidak banyak menyita waktu. Maka beliau memanfaatkan waktunya untuk berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Dalam perjalanannya beliau menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi dengan alim setempat serta membicarakan kondisi masyarakat serta ajaran islam. Hal ini dilakukan beliau untuk mempelajari kemunduran umat islam dan berusaha untuk mencari solusi pemecahannya. Sementara pada saat itu telah berjalan misi Katolik dan Zending Kristen untuk menyebarkan ajaran dalam bentuk sekolah-sekolah met de Bijbel. (Ibid,:94)

K.H. Ahmad dahlan juga memiliki ketertarikan tentang organisasi. Pada tahun 1909, beliau bertamu ke rumah Dr. Wahidin Sudiro Husodo di Ketandan, Yogyakarta. Beliau menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan dan tujuannya. Setelah mendapatkan jawaban beliau berfikir bahwa Budi Utomo merupakan organisasi yang memiliki visi serta cita-cita yang sesuai dengan pemikiran beliau, maka beliau menyatakan kesediaan untuk bergabung menjadi anggota Budi Utomo. Disinilah beliau belajar berorganisasi dan beliau dimintakan untuk memberikan santapan rohani Islam pada setiap akhir rapat pengurus. Pada tahun 1910, beliau pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jam’iat Khair Jakarta. Beliau tertarik bergabung dalam perkumpulan ini karena selain membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab serta bergerak dalam bidang sosial juga sangat giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:94-95)

Dahlan juga menyampaikan di rapat Pengurus Budi Utomo keinginan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boediharjo yang juga merupakan pengurus Budi Utomo. Selama setahun beliau mempelajari seluk-beluk penyelenggaraan sekolah, maka terdoronglah K.H. Ahmad Dahlan ingin memiliki sekolah sendiri yang mengajarkan ilmu biasa dan agama Islam. (Ibid,:95)

Dalam perjalanan dan pengalamannya, Dahlan mencoba memahami realitas kehidupan umat Islam yang pada saat itu memerlukan pembaharuan dan pencerahan. Dahlan adalah seorang yang gelisah dalam memahami agamanya. Kenapa Islam yang dianut sebagian besar bangsa Indonesia menunjukkan wajahnya yang terbelakang, bodoh dan miskin. Padahal, dalam keyakinan dan pemahaman beliau, Islam adalah agama yang hidup, dinamis dan menggerakkan kehidupan, bukan agama yang mati dan statis. (Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, 2000:3)

Dari kegelisahan religius itu, Ahmad Dahlan kemudian menemukan jawaban, bahwa karena Islam tidak dikembalikan secara langsung pada sumbernya yang murni yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dipahami dengan menggunakan akal pikiran yang sehat melalui ijtihad, untuk kemudian ditransformasikan ke dalam realitas kehidupan para pemeluknya, maka umat islam Indonesia akan tetap dalam keadaan serba terbelakang. Karena itu, harus ada gerakan transformasi sosial struktural dan kultural yang merupakan responsif kreatif atas realitas zaman yang dihadapi saat itu. Usaha transformasi tersebut tidak akan berhasil jika tidak ada dekonstruksi atas cara meyakini dan memahami Islam yang selama itu dipandang jumud (stagnasi) dan dikungkung tradisi. Responsif kreatif Islam itu kemudian menemukan saluran konkret dan strategis dalam bentuk karya sosial kemasyarakatan yang sekaligus dipandang merupakan simpul kemajuan peradaban Islam. (Ibid,:3-4).

Keinginan K.H. Ahmad Dahlan untuk memiliki sekolah sendiri dimulai dengan memiliki dua buah meja, lalu dibuatlah dua bangku, tempat duduk dibuat dari papan bekas kotak kain mori. Papan tulis dibuat dari kain suren. Setelah selesai diaturlah di ruang tamu yang hanya seluas 2,5m x 6 m. Mula-mula Dahlan mendapatkan murid delapan orang dan setiap bulan tambah tiga orangdan seterusnya sehingga pada awal bulan keenam, muridnya menjadi dua puluh orang. Dahlan mengajarkan agama dan mendapatkan bantuan guru dari Budi Utomo untuk mengajarkan ilmu-ilmu sekolah biasa. Sekolah ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Berdirinya sekolah tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat, tetapi hanya disambut dengan senyum oleh K.H. Ahmad Dahlan. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:95-96)

Sekolah yang dibentuk K.H. Ahmad Dahlan menggunakan metode pembelajaran sekolah Belanda. Hal ini dilakukan karena dinilai lebih efektif dengan adanya alat bantu mengajar sehingga memudahkan siswa dalam belajar. Sekolah ini menggunakan konsep modernisasi pendidikan Islam, suatu bentuk pendidikan Islam yang sepenuhnya mengadopsi bentuk dan kurikulum sekolah Belanda dengan tambahan pelajaran agama Islam. Namun, dengan munculnya model ini bukan berarti bentuk pendidikan Islam yang lama menjadi hilang. Sebagian Masyarakat berpandangan bahwa kendati ada kelebihan-kelebihan, model sekolah seperti ini dianggap produk pemikiran orang kafir dan tidak pantas ditiru karena dengan meniru cara-cara orang kafir dikhawatirkan akan membuat kita menjadi kafir juga. (Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, 2004:5-6)

Di antara para siswa Kweekschool Jetis yang tiap Ahad mengadakan dialog agama di ruang tamu rumah K.H. Ahmad Dahlan, ada yang memperhatikan susunan bangku, meja dan papan tulis. Mereka menanyakan dan K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggal Dahlan kelak. K.H. Ahmad Dahlan menanyakan kepada mereka apakah mereka sanggup duduk sebagai pengurusnya, mereka menyatakan sanggup. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:96)
Setelah mempersiapkan perangkat organisasi, dengan dibantu oleh beberapa santrinya, K.H. Ahmad Dahlan Mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta. (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiayah, 2005:8).

Bila ditelusuri sejarah kelahirannya, ternyata pada saat itu istilah Muhammadiyah yang dipilih oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk menamakan gerakannya masih terasa asing dan aneh, bukan saja dikalangan masyarakat umumnya, tetapi perasaan asing itu menyelinap juga ditengah-tengah rekan-rekan K.H. Ahmad Dahlan. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladai jejak penjuangan Rasulullah dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita. (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, op.cit,:98-99).
Muhammadiyah sejak berdiri telah menentukan jatidirinya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah yang dilakukan untuk menyuruh pada yang ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah dari yang munkar (al-nahyu ‘an al-munkar).

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.(Q.S. Al Imran : 104)

Gerakan muhammadiyah bahkan memiliki karakter sebagai tajdid sebagaimana dipelopori pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan sang mujaddid. Tajdid Muhammadiyah menurut Majelis Tarjih dan pengembangan Islam (2000-2005) memiliki dua dimensi, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan atau pengembangan (dinamisasi), dengan makna lain berdimensi dakwah dan tajdid. (Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah, 2006)
Kebesaran Muhammadiyah bukan terletak pada aspek numerik anggotanya yang berskala masif sebagaimana lazimnya sebuah organisasi massa. Sebab yang berskala masif dalam ormas ini adalah amal nyata, yang biasa disebut dengan istilah “amal usaha”, seperti sekolah/perguruan tinggi, sekolah, lembaga keuangan, rumah sakit dan panti asuhan yang hampir tak pernah terhitung jumlahnya. Hasilnya, sejauh diukur dari amal usahanya yang begitu masif, cerita Muhammadiyah adalah cerita tentang keberhasilan dari sebuah gerakan modernis di dunia. (Hajriyanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan pergulatan Politik Islam Modernis, 2005:56)
Muhammadiyah mengajak dan mempelopori umat Islam untuk berfikir dinamis dan kreatif dalam memahami dan mengaktualisasikan Islam di tengah kehidupan modern, tanpa terlepas dari acuan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Paradigma pemikiran islam yang demikian, jika diukur dalam konteks saat ini mungkin terbilang bukan barang mewah. Namun pada awal abad ke-20 ketika Muhammadiyah lahir hal yang demikian merupakan suatu tema besar yang implikasinya berdampak luas dalam kehidupan umat dan bangsa. Lebih-lebih ketika mayoritas umat Islampada saat itu dalam keadaan terbelakang dan menentang kehadiran Muhammadiyah, sehingga gerakan Muhammadiyah dipandang sebagai penyebaran agama baru. Belakangan, sikap dan pemikiran Muhammadiyah dalam merespon tantangan zaman, ternyata menjadi alam pikiran hampir setiap orang di lingkungan umat Islam, sehingga bukan hal yang aneh lagi. (Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, 2000:2-3).

Menurut pandangan K.H. Ahmad Dahlan, beragama itu adalah beramal; artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman Al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya hanya kepada Allah SWT. yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti; rela berkorban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah. (Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, 1990:8)

Tidak ada komentar: